ALIRAN ORTODOX
Filsafat India
A.
Macam-macam Aliran
Ortodox
1.
Nyaya
2.
Samkhya
3.
Mimamsa
4.
Vaicecika
5.
Yoga
6.
Wedanta
B.
Pembahasan
1.
Nyaya
Pendiri ajaran ini adalah ṛṣi Gautaman juga dikenal
dengan nama Akṣapāda dan Dīrghatapas, yang menulis Nyāyaśāstra atau Nyāya
Darśana yang secara umum juga dikenal sebagai Tarka Vāda atau diskusi dan
perdebatan tentang suatu Darśana atau pandangan filsafat kurang lebih pada abad
ke-4 SM, karena Nyāya mengandung Tarka Vāda (ilmu perdebatan) dan Vāda-vidyā
(ilmu diskusi).
Sistem filsafat Nyāya membicarakan bagian umum
darśana (filsafat) dan metoda (cara) untuk melakukan pengamatan yang kritis.
Sistem ini timbul karena adanya pembicaraan yang dilakukan oleh para ṛṣi atau
pemikir, dalam usaha mereka mencari arti yang benar dari ayat-ayat atau
śloka-śloka Veda Śruti, guṇa dipakai
dalam penyelenggaraan upacara-upacara yadña. Terdiri dari dari 5 Adhyāya (bab)
dan dibagi kedalam 5 'pada' (bagian). Pada tahun ( 400 Masehi kitab Nyāyaśāstra
ini di komentari` oleh ṛṣi Vāstsyāna
dengan karyanya yang berjudul Nyāya Bhāsya (ulasan tentang Nyāya).
Obyek utamanya adalah untuk menetapkan dengan cara
perdebatan, bahwa Parameśvara merupakan pencipta dari alam semesta ini. Nyāya
menegakkan keberadaan Īśvara dengan cara penyimpulan, sehingga dikatakan bahwa
Nyāya Darśana merupakan sebuah śāstra atau ilmu pengetahuan yang merupakan alat
utama untuk meyakini suatu obyek dengan penyimpulan yang tidak dapat dihindari.
Dalam hal ini kita harus mau menerima pembantahan macam apapun, tetapi asalkan
berdasarkan pada otoritas yang dapat diterima akal. Pembantahan demi untuk adu
argumentasi dan bukan bersifat lidah atau berdalih.
Sifat Ajaran Nyaya :
1) Subyek
atau si pengamat (pramātā)
2) Obyek
yang di amati (prameya)
3)
Keadaan hasil dari pengamatan (pramīti)
4) Cara
untuk mengamati atau pengamatan (pramāṇa)
Pokok-pokok ajaran Nyāya
Objek pengetahuan filsafat Nyāya adalah mengenai
1) Ātma
2) Tentang tubuh atau badan
3) Pañca indra dengan obyeknya
4) Buddhi (pengamatan)
5) Manas (pikiran)
6) Pravṛtti (aktivitas)
7) Doṣa (perbuatan yang tidak baik)
8) Pratyabhāva (tentang kelahiran kembali)
9) Phala (buah perbuatan)
10)Duḥka (penderitaan)
11)Apavarga (bebas dari penderitaan)
2.
Samkhya
Arti kata Samkhya ialah jumlah,
hitungan, sintesa atau perpaduan. Samkhya merupakan sistem filsafat Hindu yang
paling tua. Istilah samkhya dijumpai dalam
Upanishad dan Mahabharata. Nama ini diberikan kepada sistem filsafat ini karena
filsof-filosof Samkhya secara umum mengemukakan bahwa terjadinya alam semesta
beserta perkembangan dan perubahan obyek-obyek yang ada di dalamnya didasarkan
atas kategori keberadaan. Corak
filsafatnya bersifat dualis dan sering disebut sebagai sistem filsafat yang
mengajarkan teori evolusi (Parinama Vada).
Sebagai sistem filsafat, Samkhya
Darsana memiliki banyak pendukung dan penafsie. Di antara tokoh-tokoh yang menonjol
sebagai penafsir dan perumus-perumus baru ajaran Kapila Muni ialah Isvara
Krisna (abad ke-3 M), Vacaspati Misra (abad ke-9 M), Ganganatha Jha (abad ke-10
M), Anirudha (abad ke-15), Vijnana Bhiksu (abad ke-16 M), Mahadeva Vedantin
(abad ke-18 M) dan masih banyak lagi yang lain.
Ajaran
– ajaran Samkhya :
Menurut
ajaran samkhya ada tiga sumber pengetahuan yang benar. Tiga sumber itu adalah :
·
Pratyaksa
pramana atau pengamatan langsung;
·
Anumana pramana
(penyimpulan);
·
Apta Vakya atau
penegasan yang pantas, berlandaskan apa yang diajarkan kitab Veda atau ucapan
para maharesi.
Proses pengamatan, yakni indera-indera kita menerima
objek-objek di luar kita tanpa menentukannya, dan menyampaikan
pengetahuan-pengetahuan itu dengan manas.
Pokok ajaran samkhya ialah tentang Purusa dan
Prakerti, yaitu azas rohani dan badani. Dari kedua azsa inilah terciptanya alam
semesta ini dengan isinya. Teori samkhya tentang sebab asal benda-benda ini
menimbulkan ajaran prakti sebagai sebab terakhir dari dunia ini. Semua obyek dunia ini, baik badan, pikiran, perasaan
adalah terbatas dan merupakan suatu yang tergantung pada gantungan yang lain.
Yang dihasilkan oleh beberapa elemen. Alam semesta ini merupakan serentetan
akibat dari suatu sebab. Sebab itul haruslah suatu azas yang bukan roh. Bukan
kesadaran. Sebai itu, haruslah lebih halus dari akibat dan ia harus ingin
tumbuh menjadi obyek impian. sebab terakhir itu haruslah suatu azas yang tidak
merupakan akibat dari suatu sebab lagi. Suatu sebab yang kekal abadi yang
selalu menjadi sumber dari terciptanya dunia oyek ini. Nah, sebab terakhir
inilah yang disebut prakaerti dalam ajaran samkhya. Karena, prakerti itu
sebagai sebab pertama dari semua alam semesta ini. Ia haruslah bersifat kekal .
abadi dan tidak berubah,. Sebab tidak mungkin
yang tidak kekal menjadi sebab yang pertama dari semua yang ada di alam semesta
ini.
3.
Mimamsa
Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana
Mimamsa. Pendiri ajaran ini adalah Maharesi dan Jaimini. Sumber utama adalah
keyakinan akan kebenaran dan kemutlakan upacara d dalam kitab Veda (Brahmana
dan Kalpasutra). Sumber ajaran tertulis dalam jaiminisutra, karya Maharesi
Jaimini. Kitab ini terdiri dari 12 Adhyaya (bab) terbagi kedalam 60 'pada' atau
bagian. Isinya adalah aturan atau tata cara upacara dalam Veda (menurut Veda).
Ajaran ( Purwa ) Mimamsa disebut bersipat
pluralistis dan realistis. Pluralus karena mengakui adanya banyak Jiwa dan
penggandaan asas badani yang membenahi alam semesta, sedang realistis karena
mengakui bahwa obyek-obyek pangamatan adalah nyata. Bagi Mimamsa alat
pengetahuan yang terpenting adalah kesaksian (kebenaran) Veda. Mimamsa
mengajarkan bahwa tujuan terakhir umat manusia adalah Moksa, jalan untuk
mencapai adalah dengan melaksanakan upacara keagamaan seperti tersebut dalam Veda.
Pokok-pokok
ajaran Mimamsa
Sebagai telah disebutkan diatas sumber pokok ajaran
Mimamsa adalah Veda terutama bagian Brahmana dan Kalpasutra. Baginya kitab Veda
adalah Dharma. Tata cara serta perintah-perintah tentang upacara yang terdapat
didalam Veda hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Serta tidak
mengharapkan hasil karena melaksanakannya semuanya itu sebagai suatu kewajiban.
Kebebasan dalam filsafat ini adalah kebebasan yang terhingga yang terkenal
dengan sebutan sorga. Salah satu aliran dalam filsafat Mimamsa yang dipimpin
oleh Maharesi Prabhakara yang mengemukakan adanya 5 sumber pengetauan (Pramana)
antara lain :
1)
Pratyaksa (pengamatan/pengliatan lansung)
2)
Anumana ( Menarik suatu kesimpulan)
3)
Upamana (mengadakan perbandingan)
4)
Sabda (pembuktian melalui sumber yang dipercaya )
5)
Arthapatti ( Perumpamaan )
Satu sampai dengan empat adalah sama dengan Pramana
pada filsafat Nyaya, hanya ada tambahan terutama didalam Upamana. Dalam
filsafat Mimamsa dijelaskan hal ini sebagai berikut : seseorang yang ingin
melihat harimau pergi ke hutan, dan dalam hal inii dijelaskan dijelaskan bahwa
kucing sebagai perbandingan. Ketika yang bersagkutan tiba dihutan melihat
seekor harimau, maka ia seketika itu membandingkannya dengan seekor kucing,kesimpulan
ini disebut Upamana. Berbeda dengan pengetahuan yang ditarik dengan / melalui
Arthapatti. Dalam Arthapatti penjelasannya bertentangan. Misalnya bila kita
melihat seekor ular tidur saja pada siang hari, tidak pernah makan pada waktu
siang hari, tetapi ular itu tetap hidup, kesimpulan Arthapati adalah pasti ular
tersebut makan pada malam hari. Aliran Mimamsa yang lain diajarkan oleh Maharsi
Kumarila Bhatta dengan teori pengethuannya diperoleh melalui 6 pramana. Lima
Pramananya sama seperti tersebut diatas (spt.Prabhakara), dengan menambahkan
yang ke-6 Anuphalabhi pramana (non cognition), yakni tidak dapat diamati,
karena memang bendanya tidak ada. Cotohnya : Di kamar tidur tidak ada jam
tembok, ketiadaan jam tembok itu didalam kamar itu memang tidak dapat diamati.
Inilah yang disebut Anupalabhi.
Filsafat Mimamsa lebih jauh menjelaskan bila setiap
orang melakukan sedikit saja upacara agama, maka jiwa ybs, akan diangkat oleh
sesuatu kekuatan yang bernama Apurwa, yang dikemudian hari akan menghasilkan
buah yang baik.
Perhitungan dari Apurwa Mimamsa ini secara
menyeluruh terhadap jiwa hendaknya dilakukan dengan bentuk Upacara yadnya, yang
nantinya akan memberikan hasil yang sangat memuaskan. Jadi Apurwa mewujudkan
suatu jembatan yang menghubungkan waktu antara sebuah upacara yadnya dengan
buahnya. Mula-mula Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan hidup adat Sorga, tetapi
kemudian menyesuaikan dengan sistem filsafat yang lain, yaitu Moksa atau
kalepasan.
4.
Waicecika
Vaishesika
yang merupakan salah satu aliran filsafat India yang tergolong ke dalam
Sad Darsana agaknya lebih tua dibandingkan dengan filsafat Nyaya. Waisesika
muncul pada abad ke-4 SM, dengan tokohnya ialah Kanada (Ulaka).[1] Sistem ini juga dikenal sebagai Aulukya
darsana dan juga dengan nama Kasyapa dan dianggap seorang Deva-rsi.(I Wayan
Maswinara, 2006 : 142)
Sistem filsafat ini terutama dimaksudkan untuk
menetapkan tentang Padartha , tetapi rsi Kanada membuka pokok permasalahan
dengan sebuah pengamatan tentang intisari dari Dharma, yang merupakan sumber
dari pengetahuan inti dari Padartha. Sutra pertama berbunyi : ”YATO
BHYUDAYANIHSREYASA SIDDHIH SA DHARMAH” – artinya, Dharma adalah yang memuliakan
dan memberikan kebaikan tertinggi atau Moksa (penghentian dari penderitaan).
Padartha , secara harfiah artinya adalah : arti dari
sebuah kata ; tetapi di sini padartha adalah satu permasalahan benda dalam
filsafat. Sebuah Padartha merupakan suatu objek yang dapat dipikirkan (artha)
dan diberi nama (Pada). Semua yang ada, yang dapat di amati dan di namai, yaitu
semua objek pengalaman adalah Padartha. Benda-benda majemuk saling bergantung
dan sifatnya sementara, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan
bebas. Padārtha dan Vaisesika Darśana, seperti yang disebutkan oleh Rsi Kanada
sebenarnya hanya 6 buah kategori, namun satu katagori ditambahkan oleh
penulis-penulis berikutnya, sehingga akhirnya berjumlah 7 katagori (Padārtha),
yaitu:
1) Substansi (dravya).
Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan
bebas dari pengaruh unsurunsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa
substansi. Substansi (dravya) dapat menjadi sebab yang melekat pada apa yang
dijadikannya. Atau dravya dapat menjadi tidak ada pada apa yang dihasilkannya.
Contoh: tanah sebagai substansi telah terdapat pada periuk yang terbuat dari
tanah. Jadi tanah itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya,
sedangkan periuk itu tidak dapat terjadi tanpa substansi (tanah). Demikian pula
halnya kategori lain tidak dapat ada tanpa substansi (zat) seperti beraneka
ragam minuman tidak dapat terjadi tanpa air (zat cair), tapi air dapat ada
walaupun tidak adanya bermacam-macam minuman. Ada sembilan substansi yang
dinyatakan oleh Vaisesika, yaitu (1) Tanah (pṛthivī); (2) Air (āpah, jala); (3)
Api (tejah); (4) Udara (vāyu); (5) Ether (ākāśa); (6) Waktu (kāla); (7) ruang
(dis); (8) diri/roh (Jīva); dan (9) pikiran (manas). Semua substansi tersebut
di atas riil, tetap, dan kekal. Namun hanya udara, waktu, akasa bersifat tak
terbatas. Kombinasi dari sembilan itulah membentuk alam semesta beserta isinya
menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di alam ini baik
bersifat fisik maupun yang bersifat rohaniah. Adapun yang termasuk substansi
badani (fisik) adalah bumi, air, api, udara, ruang, waktu, dan akasa. Sedang
yang tergolong substansi rohaniah terdiri atas akal (manas/ pikiran), diri
(atman/jiwa). Kedua substansi rohaniah ini bersifat kekal dan pada setiap
makhluk (manusia) hanya terdapat satu jiwa dan satu manas.
Demikianlah pribadi (diri/atma) itu bersifat
individu dan menjadi sumber kesadaran setiap makhluk yang senantiasa
berhubungan dengan kegiatan badani atau fisik. Setiap pribadi (atma) memiliki
manas tersendiri yang dipakai sebagai alat untuk mengenal dan mengalami segala
sesuatu melalui alat fisik termasuk juga dipakai sebagai alat untuk mencapai
kebebasan. Namun dilain pihak manas juga diakui dapat menyebabkan kelahiran
kembali. Oleh karena setiap makhluk (manusia) dijiwai oleh pribadi (jiwa/atma).
Maka pandangan Vaisesika terhadap jiwa adalah riil dan pluralis, yaitu jiwa itu
benar-benar ada dan tak terbatas jumlahnya.
2) Kualitas (guṇa)
Guṇa ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi.
Guṇa sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (substansi) namun tidak dapat
dipisahkan secara mutlak dari substansi yang diberi sifat. Guṇa atau
sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi yang jumlahnya ada 24, yaitu (1)
warna (Rūpa); (2) rasa (rasa); (3) bau (gandha); (4) sentuhan/raba (sparśa);
(5) jumlah (Sāṁkhya); (6) ukuran (parimāṇa); (7) keanekaragaman (pṛthaktva);
(8) persekutuan (saṁyoga); (9) keterpisahan (vibhāga); (10) keterpencilan
(paratva); (11) kedekatan (aparatva); (12) bobot (gurutva); (13)
kecairan/keenceran (dravatva); (14) kekentalan (sneha); (15) suara (śabda);
(16) pemahaman/pengetahuan (buddhi/jñāna); (17) kesenangan (sukha); (18)
penderitaan (dukḥa); (19) kehendak (īccha); (20) kebencian/keengganan (dvesa);
(21) usaha (prayatna); (22) kebajikan/manfaat (dharma); (23) kekurangan/cacat
(adharma); dan (24) sifat pembiakan sendiri (saṁskāra). Sejumlah 8 sifat, yaitu
buddhi/jñāna, īccha, dvesa, sukha, dukḥa, dharma, adharma dan prayatna
merupakan milik dari roh, sedangkan 16 lainnya merupakan milik dari substansi
material.
3) Aktivitas (karma)
Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang
berhubungan dengan unsur dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri.
Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang bersifat
terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan substansi yang
tak terbatas (atma, hawa nafsu dan akasa) tidak dapat bergerak karena telah
memenuhi segala yang ada. Gerakan dari benda-benda di alam ini bukan bersumber
dari dirinya, melainkan ada sesuatu yang berkesadaran yang menjadi sumber
gerakan itu. Benda-benda hanya dapat menerima gerakan dari sesuatu yang
berkesadaran. Bila terlihat kenyataan yang terjadi di alam ini seperti adanya
hembusan angin, peredaran bumi dan planet-planet, maka tentu ada sumber
penggerak yang adikodrati. Sumber yang dikodrati itulah Tuhan. Karena Tuhan
sebagai sumber gerakan alam ini, maka Tuhan Maha Mengetahui segala gerak dan
perilaku benda-benda di alam ini. Termasuk mengetahui benar perilaku (karma)
manusia.
Ada 5 macam gerak, yaitu (1) Utkṣepaṇa (gerakan ke
atas); (2) Avakṣepaṇa (gerakan ke bawah); (3) A-kuñcana (gerakan membengkok);
(4) Prasaraṇa (gerakan mengembang); dan (5) Gamana (gerakan menjauh atau
mendekat).
4) Universalia (sāmānya)
Samanya bersifat umum yang menyangkut 2
permasalahan, yaitu sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah, dan jenis
kelamin dan spesies. Dalam epistemologi, hal ini mirip dengan konsep
universalia dan agak mirip dengan idenya Plato. Ia ada dalam semua dan dalam
masing-masing objek, namun tidak berbeda dalam objek partikular yang berbeda.
Karenanya ide ‘kesapian’ adalah tunggal dan tidak dapat dianalisis. Ide itu
selalu hidup, tetapi tidak dapat dimengerti melalui dirinya sendiri, namun
hanya melalui seekor ‘sapi’ khusus. Walaupun tampak bersama, namun ‘sapi’ dan
‘kesapian’ dipahami sebagai dua entitas berbeda. Dari universalia-universalia ini,
‘Ada’ (being, satta) adalah yang tertinggi, karena ia memberikan ciri pada
banyak sekali entitas.
5) Individualitas (viśeṣa)
Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat yang
membedakan sebuah objek dari objek lainnya. Sistem Vaisesika diturunkan dari
kata viśeṣa, dan merupakan aspek objek yang mendapat penekanan khusus dari para
filsuf Vaisesika. Kategori ini berurusan dengan ciri-ciri khusus ke sembilan
substansi (dravya). Dalam system Vaisesika, unsur tanah, air, api, udara, dan
pikiran dibangun dari atom (paramānu), sedangkan eter, ruang, waktu dan jiwa
dianggap sebagai substansi sangat khusus tanpa dimensi atau visibilitas. Inilah
yang menyebabkan sistem darśana ini disebut Vaiśseṣika Darśana.
6) Hubungan Niscaya (samavāya)
Dimensi objek ini menunjukkan hakikat hubungan yang
mungkin antara kualitas-kualitasnya yang inheren. Hubungan ini dapat dilihat
bersifat sementara (saṁyoga) atau permanen (samavāya). Saṁyoga adalah hubungan
sementara seperti antara sebuah buku dan tangan yang memegangnya. Hubungan
selesai ketika buku dilepaskan dari tangan. Di sisi lain, samavāya adalah
sebuah hubungan yang tetap dan hanya berakhir ketika salah satu di antara
keduanya dihancurkan. Ada lima jenis hubungan yang tetap dan entitas yang tetap
atau tidak terpisahkan ini (ayūta-siddḥa):
·
Hubungan
keseluruhan dengan bagian-bagiannya, seperti sehelai kain dan benang-benangnya.
·
Hubungan
kualitas dengan objek yang memilikinya, seperti kendi air dan warna merahnya.
·
Hubungan antara
tindakan dan pelakunya, seperti tindakan melompat dan kuda yang melakukannya.
·
Hubungan antara
partikular dengan yang universal, ibarat satu jenis sapi dengan seekor sapi
atau bangsa Jepang dan seorang Jepang.
·
Hubungan antara
substansi kekal dan substansi khusus. Menurut system Vaisesika, partikel
subatomis (paramānu) setiap substansi abadi memiliki ciri-ciri khusus yang
tidak membiarkan atom dari satu substansi bercampur dengan atom substansi
lainnya. Ciri khusus (Viśeṣa) dipertahankan oleh partikel subatomis
masing-masing melalui ‘hubungan tak terpisahkan’ (samavāya).
7) Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhāva)
Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang telah
terurai atau larut ke dalam partikel subatomis terpisah melalui pelarutan
universal (mahapralaya) dan ke dalam ketiadaan (nothingness). Semua benda-benda
yang ada dan bernama digolongkan sebagai bhava, sedangkan entitas yang sudah
tidak ada digolongkan sebagai abhāva. Sebenarnya kategori ini bukan merupakan
sebuah klasifikasi seperti kategori lainnya, namun hanya modus pengaturan
negatif. Abhāva, yang merupakan kategori ke 7, ada 4 macam, yaitu:
Pragabhāva, yaitu ketidakadaan dari suatu benda
sebelumnya. Contohnya: ketidak adaan periuk sebelum dibuat oleh pengrajin
periuk.
Dhvaṅsabhāva, yaitu penghentian keberadaan, misalnya
periuk yang dipecahkan, di mana dalam pecahan periuk itu tak ada periuk.
Atyāntabhāva, atau ketidakadaan timbal balik,
seperti misalnya udara yang dari dulu tidak pernah berwarna atau pun berbentuk.
Ketiga ketidakadaan ini disebut sebagai Samsarga-bhava, yaitu ketidakadaan
suatu benda dalam benda yang lain.
Anyonyābhāva, atau ketidak adaan mutlak, dimana
antara benda yang satu sama sekali tidak ada persamaannya dengan yang lain,
seperti sebuah periuk yang tidak sama dengan sepotong pakaian, demikian pula
sebaliknya.
Ṛṣi Kaṇāda di dalam Sūtra-nya tidak secara terbuka
menunjukkan tentang Tuhan. Keyakinannya adalah bahwa formasi atau susunan alam
dunia ini merupakan hasil dari Adṛṣṭa yaitu kekuatan yang tak terlihat dari
karma atau kegiatan. Beliau menelusuri aktivitas atom dan roh mula-mula melalui
prinsip Adṛṣṭa ini. Para pengikut Rṣi Kaṇāda kemudian memperkenalkan Tuhan
sebagai penyebab efisien dari alam semesta, sedangkan atom-atom adalah
materialnya. Atom-atom yang tak terpikirkan itu tidak memiliki daya dan
kecerdasan untuk menjalankan alam semesta ini secara teratur. Namun yang pasti,
aktivitas atom-atom itu diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kesimpulan dari
otoritas kitab suci seperti ini mengharuskan kita untuk mengakui adanya Tuhan.
Kecerdasan yang membuat Adṛṣṭa dapat bekerja adalah kecerdasan Tuhan, sedangkan
lima unsur (pañca mahābhūta) hanya merupakan akibat. Semua ini harusnya
didahului oleh ‘keberadaan’ yang memiliki pengetahuan tentang itu adalah Tuhan.
Roh-roh dalam keadaan penghancuran, kurang memiliki kecerdasan, sehingga mereka
tidak dapat mengendalikan aktivitas
atom-atom dan dalam atom-atom itu sendiri tidak ada sumber gerakan.
Pada sistem Vaisesika, seperti halnya sistem Nyāya,
susunan alam semesta ini diduga dipengaruhi oleh pengumpulan atom-atom, yang
tak terhitung jumlahnya dan kekal. Kosmologi Vaisesika dalam batasan mengenai
keberadaan atom abadi bersifat dualistik dan secara positif memisahkan hubungan
yang pasti antara roh dan materi. Terjadinya alam semesta menurut sistem
filsafat Vaisesika memiliki kesamaan dengan ajaran Nyāya yaitu dari gabungan
atom-atom catur bhuta (tanah, air, cahaya dan udara) ditambah dengan lima
substansi yang bersifat universal seperti akāsa, waktu, ruang, jiwa dan manas.
Lima substansi universal tersebut tidak memiliki
atom-atom, maka itu ia tidak dapat memproduksi sesuatu di dunia ini. Cara
penggabungan atom-atom itu dimulai dari dua atom (dvyānuka), tiga atom
(Triyānuka), dan tiga atom ini saling menggabungkan diri dengan cara yang
bermacam-macam, maka terwujudlah alam semesta beserta isinya. Bila gabungan
atom-atom dalam Catur Bhuta ini terlepas satu dengan lainnya maka lenyaplah
alam beserta isinya. Gabungan dan terpisahnya gerakan atom-atom itu tidaklah
dapat terjadi dengan sendirinya, mereka digerakkan oleh suatu kekuatan yang
memiliki kesaḍaran dan kemahakuasaan. Sesuatu yang memiliki kesadaran dan
kekuatan yang maha dahsyat itu menurut Vaisesika adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Vaisesika dalam etikanya menganjurkan semua orang untuk kelepasan. Kelepasan
akan dapat dicapai melalui Tatwa Jnaña, Sravāna, manāna, dan Meditasi.
5.
Yoga
Kata Yoga
berasal dari akar kata yuj yang artinya menghubungkan. Yoga merupakan pengendalian aktivitas pikiran dan
merupakan penyatuan roh pribadi dengan roh tertinggi. Hiraṇyagarbha adalah
pendiri dari sistem Yoga. Yoga yang didirikan oleh Mahāṛṣi Patañjali, merupakan
cabang atau tambahan dari filsafat Sāṁkhya. Ia memiliki daya tarik tersendiri
bagi para murid yang memiliki temperamen mistis dan perenungan. Ia menyatakan
bersifat lebih orthodox dari pada filsafat Sāṁkhya, yang secara langsung
mengakui keberadaan dari Makhluk Tertinggi (Ìśvara).
Yoga-nya Mahāṛṣi Patañjali merupakan Aṣṭāṅga-Yoga atau Yoga
dengan delapan anggota, yang mengandung disiplin pikiran dan tenaga
fisik. Haṭha Yoga membahas tentang cara-cara mengendalikan badan dan mengatur
pernafasan yang memuncak dari Rāja Yoga. Sādhanā yang progresif dalam Haṭha
Yoga membawa pada ketrampilan Haṭha Yoga. Haṭha Yoga merupakan tangga untuk
mendaki menuju tahapan puncak dari Rāja Yoga. Bila gerakan pernafasan
dihentikan dengan cara Kumbhaka, pikiran menjadi tak tertopang. Pemurnian badan
dan pengendalian pernafasan merupakan tujuan langsung dari Haṭha Yoga. Śaṭ
Karma atau enam kegiatan pemurnian badan antara lain Dhautī (pembersihan
perut), Bastī (bentuk alami pembersihan usus), Netī (pembersihan lubang
hidung), Trāṭaka (penatapan tanpa berkedip terhadap sesuatu obyek), Naulī (pengadukan
isi perut), dan Kapālabhātì (pelepasan lendir melalui semacam Prāṇāyāma
tertentu). Badan diberikan kesehatan, kemudaan, kekuatan dan kemantapan dengan
melaksanakan Āsana, bandha dan mudrā.
Yoga merupakan satu cara disiplin yang ketat, yang
memberlakukan pengetatan pada diet, tidur, pergaulan, kebiasaan, berkata dan
berpikir. Hal ini harus dilakukan di bawah pengawasan yang cermat dari seorang
Yogīn yang ahli dan memancarkan sinar kepada Jīva. Yoga merupakan satu usaha
sistematis untuk mengendalikan pikiran dan mencapai kesempurnaan. Yoga
meningkatkan daya konsentrasi, menahan tingkah laku dan pengembaraan pikiran,
dan membantu untuk mencapai keadaan supra Ṣaḍar atau nirvikalpa samādhi.
Pelaksanaan Yoga melepaskan keletihan badan dan pikiran dan melepaskan
ketidakmurnian pikiran serta memantapkannya. Tujuan yoga adalah untuk
mengajarkan cara ātma pribadi dapat mencapai penyatuan yang sempurna dengan Roh
Tertinggi. Penyatuan atau perpaduan dari ātma pribadi dengan Puruṣa Tertinggi
dipengaruhi oleh Vṛtti atau pemikiran-pemikiran dari pikiran. Ini merupakan
suatu keadaan yang jernihnya seperti kristal, karena pikiran tak terwarnai oleh
hubungan dengan obyek-obyek duniawi.
Sistem filsafat Kapila adalah Nir-Ìśvara Sāṁkhya,
karena di sana tak ada Ìśvara atau Tuhan. Sistem Patañjali adalah Sa-Ìśvara Sāṁkhya
karena ada Ìśvara atau Puruṣa Istimewa di dalamnya, yang tak tersentuh oleh
kemalangan, kerja, keinginan dsb. Patañjali mendirikan sistem ini pada latar
belakang metafisika dari Sāṁkhya. Patañjali menerima 25 prinsip dari Sāṁkhya.
Ia menerima pandangan metafisik dari sistem Sāṁkhya, tetapi lebih menekankan
pada sisi praktis dari disiplin diri guna
realisasi dari penyatuan mutlak Puruṣa atau sang Diri.
Sāṁkhya merupakan satu sistem metafisika, sedangkan
Yoga merupakan satu sistem disiplin
praktis. Yang pertama menekankan pada penyelidikan dan penalaran, sedang yang
kedua menekankan pada konsentrasi dari daya kehendak. Roh pribadi dalam Yoga memiliki kemerdekaan yang lebih besar. Ia
dapat mencapai pembebasan dengan bantuan Tuhan. Sāṁkhya menetapkan bahwa
pengetahuan adalah cara untuk pembebasan. Yoga
menganggap bahwa konsentrasi, meditasi dan Samādhi akan membawa kepada
Kaivalya atau kemerdekaan. Sistem Yoga menganggap bahwa proses Yoga terkandung dalam kesan-kesan dari
keanekaragaman fungsi mental dan konsentrasi dari energi mental pada Puruṣa
yang mencerahi dirinya. Rāja Yoga dikenal dengan nama Aṣṭāṅga-Yoga atau
Yoga dengan delapan anggota, yaitu :
1) Yama, (larangan)
2) Niyama (ketaatan),
3) Āsana (sikap badan)
4) Prāṇāyāma (pengendalian nafas),
5) Pratyāhāra (penarikan indriya),
6) Dhāraṇa (konsentrasi),
7) Dhyāna (meditasi), dan
8) Samādhi (keadaan supra Ṣaḍar).
Kelima
yang pertama membentuk anggota luar (Bahir-aṅga) dari Yoga, sedangkan ketiga
yang terakhir membentuk anggota dalam (Antar-aṅga) dari Yoga .
6.
Wedanta
Filsafat ini sangatlah kuno;yang berasal dari
kumpulan literatur bangsa Arya yang dikenal dengan nama Veda. Vedānta ini
merupakan bunga diantara semua spekulasi, pengalaman dan analisa yang terbentuk
dalam demikian banyak literatur yang dikumpulkan dan dipilih selama
berabad-abad. Filsafat Vedānta ini memiliki kekhususan. Yang pertama, ia sama
sekali impersonal, ia bukan dari seseorang atau Nabi.
Istilah Vedānta berasal dari kata Veda-anta, artinya
bagian terakhir dari Veda atau inti sari atau akhir dari Veda, yaitu
ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab Upaniṣad. Kitab Upaniṣad juga disebut dengan Vedānta, karena
kitab-kitab ini merupakan jñana kāṇda yang mewujudkan bagian akhir dari Veda
setelah Mantra, Brāhmaṇa dan Āraṇyaka yang bersifat mengumpulkan.
Sifat
ajarannya:
Sistem filsafat Vedānta juga disebut Uttara Mīmāmsā
kata”Vedānta” berarti”akhir dari Veda. Sumber ajarannya adalah kitab Upaniṣad. Oleh karena kitab Vedānta bersumber
pada kitab-kitab Upaniṣad, Brahma Sūtra
dan Bhagavad Gītā, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme.
Absolutisme maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa Tuhan yang Maha
Esa adalah mutlak dan tidak berpribadi
(impersonal God),sedangkan teisme mengajarkan Truhan yang berpribadi (personal
God). Uttara-Mīmāmsā atau filsafat Vedānta dari Bādarāyaṇa atau Vyāsa
ditempatkan sebagai terakhir dari enam filsafat orthodox, tetapi sesungguhnya
ia menempati urutan pertama dalam kepustakaan Hindu.
Pokok-pokok
Ajaran:
Vedānta mengajarkan bahwa nirvāna dapat dicapai
dalam kehidupan sekarang ini, tak perlu menunggu setelah mati untuk
mencapainya. Nirvāna adalah keṢaḍaran terhadap diri sejati. Dan sekali mengetahui hal itu, walau sekejap,
maka seseorang tak akan pernah lagi dapat di perdaya oleh kabut individualitas. Terdapat dua tahap
pembedaan dalam kehidupan, yaitu: yang pertama, bahwa orang yang mengetahui
diri sejatinya tak akan di pengaruhi oleh hal apapun. Yang kedua bahwa hanya
dia sendirilah yang dapat melakukan kebaikan pada dunia
Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa filsafat
Vedānta bersumber dari Upaniṣad. Brahma
Sūtra atau Vedānta Sūtra dan Bhagavad
Gītā. Brahma Sūtra mengandung 556 buah Sūtra, yang dikelompokkan atas 4 bab,
yaitu Samanvaya, Avirodha, Sādhāna dan Phala. Pada Bab I, pernyataan tentang
sifat Brahman dan hubungannya dengan alam semesta serta roh pribadi. Pada Bab
II, teori-teori Sāṁkya, Yoga, Vaiśeṣika dan sebagainya yang merupakan
saingannya dikritik, dan jawaban yang sesuai diberikan terhadap lontaran
pandangan ini. Pada Bab III, dibicarakan tentang pencapaian Brahmavidyā. Pada
Bab IV, terdapat uraian tentang buah (hasil)
dari pencapaian Brahmavidyā dan juga uraian tentang bagaimana roh
pribadi mencapai Brahman melalui Devayana. Setiap bab memiliki 4 bagian (Pāda).
Sūtra- sūtra pada masing-masing bagian membentuk Adikaraṇa atau topik-topik
pembicaraan. Lima Sūtra pertama sangat penting untuk diketahui karena berisi
intisari ajaran Brahma Sūtra, yaitu :
1) Sūtra pertama berbunyi : Athāto
Brahmajijñāsā – oleh karena itu sekarang, penyelidikan ke dalam Brahman.
Aphorisma pertama menyatakan obyek dari
keseluruhan system dalam satu kata, yaitu :
Brahma-jijñāsā yaitu keinginan untuk mengetahui Brahman.
2) Sūtra kedua adalah : Janmādyasya yataḥ -
Brahman adalah KeṢaḍaran Tertinggi, yang merupakan asal mula, penghidup serta
leburnya alam semesta ini.
3) Sūtra ketiga : Sāstra Yonitvāt – Kitab
Suci itu sajalah yang merupakan cara untuk mencari pengetahuan yang benar.
4) Sūtra
keempat : Tat Tu Samvayāt – Brahman itu diketahui hanya dari kitab suci
dan tidak secara bebas ditetapkan dengan cara lainnya, karena Ia merupakan
sumber utama dari segala naskah Vedānta.
5) Sūtra kelima adalah : Īkṣater Nā Aśabdam –
Disebabkan ‘berfikir’, Prakṛti atau Pradhāna bukan didasarkan pada kitab suci.
Sūtra terakhir dari Bab IV adalah Anāvṛṭṭiḥ Śabdāt
Anāvṛṭṭiḥ Śabdāt – Tak ada kembali bagi roh bebas, disebabkan kitab suci
menyatakan tentang akibat itu. Masing-masing buku tersebut memberikan ulasan
isi filsafat itu berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh sudut pandangannya yang
berbeda. Walaupun obyeknya sama, tentu hasilnya akan berbeda. Sama halnya
dengan orang buta yang merabah gajah dari sudut yangg berbeda, tentu hasilnya
akan berbeda pula. Demikian pula halnya dengan filsafat tentang dunia ini, ada yang memberikan ulasan
bahwa dunia ini maya (bayangan saja), dilain pihak menyebutkan dunia ini
betul-betul ada, bukan palsu sebab diciptakan oleh Tuhan dari diri-Nya sendiri.
Karena perbedaan pendapat ini dengan sendirinya menimbulkan suatu teka-teki, apakah
dunia ini benar-benar ada ataukah dunia ini betul-betul maya.
Daftar Pustaka