PANCASILA SEBAGAI
SISTEM FILSAFAT
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas UTS
Pendidikan Pancasila
Disusun Oleh :
Nama : Lulu
Aundhia Allam
NIM : -------
PROGRAM STUDI S1 SASTRA INGGRIS
SEKOLAH TINGGI BAHASA ASING LIA YOGYAKARTA
2017
PANCASILA SEBAGAI
SISTEM FILSAFAT
Abstrak
Pancasila ditentukan
sebagai suatu dasar filsafat dalam kehidupan bersama suatu Negara Kesatuan
Republik Indonesia, bukanlah sekedar suatu preferensi, melainkan suatu realitas
objektif. Konstelasi bangsa dan negara Indonesia yang secara geopolitik,
terdiri atas beribu-ribu pulau, berbagai macam suku, ras, budaya, kelompok, dan
agama, mengharuskan bangsa Indonesia untuk hidup bersama, dalam suatu negara
dalam segala perbedaan dan keanekaragaman (Bhinneka
Tunggal Ika). Rumusan Pancasila yang telah disepakati oleh para founding fathers bangsa Indonesia,
secara objektif dikagumi oleh seorang ahli tentang Indonesia, dari Cornell University USA, George Mc Turner Kahin dan Filsuf Besar Bertrand Russell. Pancasila merupakan
karya besar bangsa Indonesia di tengah-tengah pandangan filsafat dan ideologi
besar dunia dewasa ini.
Kata kunci :pancasila,
filsafat, Indonesia
Abstract
Pancasila is defined as a foundation of
philosophy in the common life of an Unitary State of the Republic of Indonesia,
not merely a preference, but an objective reality. The geopolitical
constellation of the nation and state of Indonesia, comprised of thousands of
islands, various tribes, races, cultures, groups and religions, requires the
Indonesian people to live together, within a country in all diversity (Bhinneka
Tunggal Ika). The formulation of Pancasila agreed by the founding fathers of
the Indonesian nation is objectively admired by an expert on Indonesia, from
Cornell University USA, George Mc Turner Kahin and the Great Philosopher
Bertrand Russell. Pancasila is the great work of the Indonesian nation in the
midst of the great philosophical and ideological view of the world today.
Keywords:pancasila, philosophy, Indonesia
Pendahuluan
Pancasila merupakan suatu pandangan
hidup bangsa yang nilai-nilainya sudah ada sebelum secara yuridis bangsa
Indonesia membentuk negara. Bangsa Indonesia secara historis ditakdirkan oleh
Tuhan YME, berkembang melalui suatu proses dan menemukan bentuknya sebagai
suatu bangsa dengan jati dirinya sendiri. Menurut M. Yamin, berdirinya negara
kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu : pertama, zaman
Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra yang bercirikan kedatuan (sejak 600),
kedua negara kebangsaan zaman Majapahit yang bercirikan keprabuan (1293-1525),
kemudian ketiga negara kebangsaan modern, yaitu negara Indonesia yang merdeka
(17 Agustus 1945).
Makalah ini akan membahas
mengenai pengertian filsafat, mulai dari dasar-dasar, cirri-ciri berfikir filsafat,
aliran-aliran filsafat, filsafat Pancasila, dasar ontologis, epistemologis, dan
dasar aksiologis Pancasila. Akan dijelaskan secara singkat atau secara garis
besar saja dalam makalah ini namun sudah mencakup semua materi Pancasila
sebagai Sistem Filsafat.
Pembahasan
A. Pancasila
sebagai Filsafat Hidup Bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia sebagai
salah satu bangsa dari masyarakat internasional, tentunya memiliki sejarah serta
prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala
Indonesia akan mencapai fase nasionalisme modern, diletakkanlah prinsip-prinsip
dasar filsafat sebagai suatu asas dalam hidup berbangsa dan bernegara. Para
pendiri negara menyadari akan pentingnya dasar filosofi ini, kemudian melakukan
suatu penyelidikan yang dilakukan oleh badan yang akan meletakkan dasar
filsafat bangsa dan negara yakni BPUPKI. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan
oleh para peletak dasar negara tersebut yang diangkat dari filsafat hidup
bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar
filsafat negara yaitu Pancasila. Hal ini merupakan suatu alasan ilmiah rasional
dalam ilmu filsafat, bahwa salah satu lingkup pengertian filsafat adalah
fungsinya sebagai suatu pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa tertentu (Titus,
1984).
Berdasarkan suatu kenyataan sejarah
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Pancasila sebagai suatu
pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan suatu kenyataan objektif yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam pengertian inilah maka
diistilahkan bahwa bangsa Indonesia sebagai kausa
materialis dari Pancasila. Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu
masyarakat, suatu bangsa senantiasa memiliki pandangan hidup atau filsafat
hidup masing-masing yang berbeda dengan bangsa lain di dunia. Bangsa Indonesia
tidak mungkin memiliki pandangan hidup yang sama dengan bangsa Inggris
misalnya, karena bangsa Inggris ditakdirkan tidak pernah dijajah, sedangkan
bangsa kita Indonesia telah berkali-kali dijajah oleh negara asing.
B.
Pengertian Ilmu dan Filsafat
Ilmu yang pertama kali muncul di dunia
adalah ilmu filsafat, sebelum ilmupengetahuan berkembang seperti saat ini.
Kemudian karena perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia terutama pada
abad pertengahan, muncul ilmu pengetahuan khusus seperti ilmu-ilmu alam,
fisika, biologi, kimia, kedokteran, antropologi, ekonomi, psikologi, dan lain
sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut memisahkan diri dari ilmu filsafat dikarenakan
objek material ilmu memerlukan metode yang lebih memadai serta khusus. Karena
objek material filsafat sangat umum dan luas. Maka dalam pengertian inilah
filsafat disebut sebagai “induk” atau “ibu” dari ilmu pengetahuan atau mater scientiarum (Mudhofir, 1985).
Meski dalam perkembangannya
masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat namun bukan berarti hubungan
ilmu filsafat dengan ilmu-ilmu tersebut menjadi terputus. Terdapat hubungan
timbal balik antara ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Banyak masalah
filsafat yang memerlukan landasan pengetahuan ilmiah agar pembahasan bersifat
rasional, mendalam, runtut, dan tidak menimbulkan kesalahan. Dewasa ini ilmu
dapat menyediakan sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat
penting bagi perkembangan ide-ide filsafat yang tepat dan sejalan dengan pengetahuan
ilmiah.
Pengertian Filsafat
Dari segi Etimologis.
Istilah “filsafat” dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan “falsafah” dalam
kata Arab. Sedangan menurut kata Inggris “philosophy”,
kata Latin “philosophia”, kata
Belanda “philosophie”, kata Jerman “philosophier”, kata Perancis “philosophie” yang semua itu apabila
diterjemahkan dalam kata Indonesia yakni “filsafat”. Menurut Harun Nasution,
istilah “falsafah” berasal dari bahasa Yunani “philein” dan kata ini mengandung arti “cinta” dan “sophos” artinya hikmah (wisdom)
(Nasution, 1973).
Lingkup Pengertian
Filsafat
Filsafat
memiliki bidang bahasan yang sangat luas yaitu segala sesuatu baik bersifat
kongkrit maupun abstrak. Maka untuk mengetahui lingkup pengertian filsafat
terlebih dahulu perlu dipahami objek material dan formal ilmu filsafat sebagai
berikut :
Objek Material filsafat,
yaitu objek pembahasan filsafat yang meliputi segala sesuatu baik yang bersifat
material kongkrit seperti manusia, alam, binatang, benda, dan lain sebagainya,
maupun suatu yang bersifat abstrak misalnya nilai, ide-ide, ideologi, moral,
pandangan hidup dan lain sebagainya.
Objek Formal filsafat,
adalah cara memandang seorang peneliti terhadap objek material tersebut, suatu
objek material tertentu dapat ditinjau dari berbagai macam sudut pandang yang
berbeda. Oleh karena itu terdapat berbagai macam sudut pandang filsafat yang
merupakan cabang-cabang filsafat, antara lain dari sudut pandang pengetahuan
terdapat bidang epistemologi, dari sudut pandang nilai terdapat bidang aksiologi,
keberadaan bidang ontologi, tingkah laku baik buruk bidang etika, keindahan
bidang estetika dan masih terdapat sudut pandang lainnya yang lebih khusus
misalnya filsafat sosial, filsafat hukum, filsafat bahasa, dan sebagainya. Berikut
berbagai bidang lingkup pengertian filsafat.
a) Filsafat
sebagai Suatu Kebijaksanaan yang Rasional dari Segala sesuatu.
b) Filsafat
sebagai Suatu Sikap dan Pandangan Hidup.
c) Filsafat
sebagai Suatu Kelompok Persoalan.
d) Filsafat
sebagai Suatu Kelompok Teori dan Sistem Pemikiran.
e) Filsafat
sebagai Suatu Proses Kritis dan Sistematis dari Segala Pengetahuan Manusia.
f) Filsafat
sebagai Usaha untuk Memperoleh Pandangan yang Komprehensif.
C. Ciri-ciri
Berfikir dalam
Ilmu Filsafat
a)
Bersifat kritis. Suatu kegiatan berfikir secara
kefilsafatan senantiasa bersifat kritis yaitu senantiasa mempertanyakan segala
sesuatu, problema-problema, atau hal-hal lain yang sedang dihadapi oleh
manusia. Oleh karena itu ciri berfikir secara kefilsafatan senantiasa bersifat
dinamis.
b)
Bersifat terdalam. Bukan hanya sampai
fakta-fakta yang sifatnya sangat khusus dan empiris belaka namun sampai pada
intinya yang terdalam yaitu substansinya yang bersifat universal. Sifat ini
juga disebut dengan berfikir secara radikal, yang berarti ke radixnya, sampai
ke adanya sesuatu gejala yang hendak dipermasalahkan. Dengan jalan penjagaan
yang bersifat radikal tersebut sampailah pada kesimpulan-kesimpulan yang
terdalam yang bersifat universal (Hassan, 1976: 9).
c)
Bersifat konseptual. Berfikir secara
kefilsafatan bukan hanya sampai pada persepsi belaka namun sampai pada
pengertian-pengertian yang bersifat konseptual. Perenungan kefilsafatan adalah
kegiatan akal budi dan mental manusia yang berusaha untuk menyusun suatu bagan
yang bersifat konseptual yang merupakan hasil generalisasi serta abstraksi dari
pengalaman tentang hal-hal yang sifatnya khusus dan individual (Kattsoff, 1986:
7).
d)
Koheren
(runtut). Berfikir secara kefilsafatan bukanlah merupakan suatu pemikiran yang
acak, kacau, dan fragmentaris. Pemikiran kefilsafatan berusaha menyusun suatu
bagan yang konseptual yang koheren atau runtut.
e)
Bersifat rasional. Suatu bagan pemikiran
kefilsafatan berusaha menyusun dengan bagan konseptual yang rasional adalah
bagan yang bagian-bagiannya berhubungan secara logis diantara satu dan lainnya.
Jadi dalam suatu pemikiran kefilsafatan bagian-bagiannya senantiasa memiliki
hubungan yang bersifat logis.
f)
Bersifat menyeluruh (komprehensif). Hal ini berarti bahwa suatu pemikiran kefilsafatan
bukan hanya berdasar pada suatu fakta yang khusus dan individual saja, namun
pemikiran kefilsafatan harus sampai pada suatu kesimpulan yang sifatnya paling
umum. Suatu pemikiran kefilsafatan harus bersifat komprehensif, artinya tidak
ada sesuatupun yang diluar jangkauannya (Kattsoff, 1986: 12).
g)
Bersifat universal. Sifat universal berarti
sampai pada suatu kesimpulan yang bersifat umum bagi seluruh umat manusia
dimanapun, kapanpun, dan dalam keadaan apapun.
h)
Bersifat spekulatif. Spekulatif yaitu pengajuan
dugaan-dugaan yang masuk akal (rasional) yang melampaui batas-batas fakta.
i)
Bersifat sistematis. Pemikiran kefilsafatan
senantiasa memiliki bagian-bagian dan diantara bagian-bagian tersebut
senantiasa berhubungan antara satu dengan lainnya.
j)
Bersifat bebas. Suatu bentuk pengekangan
intelektual adalah peniadaan kebebasan atas berfikir. Sifat berfikir secara
kefilsafatan adalah berfikir secara bebas untuk sampai pada hakikat yang
terdalam dan universal.
D. Cabang-cabang
Filsafat dan Aliran-alirannya
Cabang-cabang
pokok filsafat :
a) Metafisika
1. Ontologi
2. Kosmologi
3. Antropologi
b) Epistemologi
1. Rasionalisme
2. Empirisme
3. Realisme
4. Kritisisme
5. Positivisme
6. Skeptisisme
7. Pragmatisme
c) Metodologi
d) Logika
e) Etika
1. Etika
deskriptif
2. Etika
normatif
3. Metaetika
Aliran
dalam bidang Etika :
1. Idealisme
2. Etika
teleologi
3. Hedonisme
4. Utilitarianisme
5. Intuisionisme
f) Estetika
g) Filsafat
hukum
h) Filsafat
bahasa
i) Filsafat
sosial
j) Filsafat
ilmu
k) Filsafat
politik
l) Filsafat
kebudayaan
m) Filsafat
lingkungan
E. Filsafat
Pancasila
Pengertian Filsafat
Pancasila
Pengertian filsafat Pancasila adalah
pembahasan Pancasila secara filsafati, yaitu pembahasan Pancasila sampai
hakikatnya yang terdalam (sampai intinya yang terdalam). Dari objek materinya
maka pengertian filsafat Pancasila yaitu : suatu sistem pemikiran yang
rasional, sistematis, terdalam dan menyeluruh tentang hakikat bangsa, negara,
dan masyarakat Indonesia yang nilai-nilainya telah ada dan digali dari bangsa
Indonesia sendiri (Notonagoro, 1980: 35).
Pancasila yang terdiri atas lima
sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Sistem yang dimaksud adalah
suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama untuk
satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh
sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Suatu
kesatuan bagian-bagian
2. Bagian-bagia
tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
3. Saling
berhubungan, saling ketergantungan
4. Semuanya
dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem)
5. Terjadi
dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich, 1974: 22).
Pancasila
yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila setiap sila
padahakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri tujuan
tertentu, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Isi
sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Dasar filsafat
negara Indonesia terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan suatu asas
peradaban. Namun demikian sila-sila Pancasila itu bersama-sama merupakan suatu
kesatuan dan keutuhan, setiap sila merupakan suatu unsur (bagian yang mutlak)
dari kesatuan Pancasila. Maka dasar filsafat negara Pancasila adalah suatu
kesatuan yang bersifat majemuk tunggal. Konsekuensinya setiap sila tidak dapat
berdiri sendiri terpisah dari sila lainnya.
Dalam
Kursus Pancasila 5 Juli 1958 Soekarno menyatakan bahwa “Pancasila kelima-lima
silanya adalah merupakan satu kesatuan yang tak boleh dipisah-pisahkan satu
sama lainnya, atau diambil sekadar sebagian dari padanya” (Soekarno, 1958:
186). Jadi kelima sila dalam Pancasila itu merupakan suatu kesatuan, sehingga
setiap sila merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sila-sila lainnya.
Kesatuan tersebut berdasarkan hakikat dalam Pancasila, yaitu didasarkan pada
pandangan filosofisnya, yaitu meliputi dasar ontologis, epistemologis, dan
dasar aksiologis.
F. Dasar
Ontologis Filsafat Pancasila
Dasar Ontologis Pancasila pada
hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh
karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek
pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut : bahwa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan
sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro, 1975 : 23).
Manusia sebagai pendukung pokok
sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu
terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa jasmani dan rohani, sifat kodrat
manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan
kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk
pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis
sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila
Pancasila yang lainnya (Notonagoro, 1975: 53)
G. Dasar
Epistemologis Filsafat Pancasila
Dasar Epistemologis Pancasila pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologinya. Pancasila sebagai
suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila
(Poespowardojo, 1991 : 50). Oleh karena itu dasar epostemologis Pancasila tidak
dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Kalau manusia
merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka dengan demikian mempunyai
implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi yang
ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996 : 32). Terdapat
tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu : pertama tentang sumber
pengetahuan manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga
tentang watak pengetahuan manusia (Titus, 1984 : 20).
H. Dasar
Aksiologis Filsafat Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem
filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya, sehingga nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan.
Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada
titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang
pengertian nilai dan hierarkhinya. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa
hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis
berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun dari
berbagai macam pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan pada dua macam
sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek
pemberi nilai yaitu manusia, hal ini bersifat subjektif namun juga terdapat
pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu itu memang pada dirinya sendiri memang
bernilai, hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.
Penutup
Kesimpulan
Dari
uraian mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, tampak jelas bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila termasuk dalam tingkatan nilai yang
tinggi, dengan urutan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menduduki tingkatan dan
bobot nilai tertinggi, karena jelas mengandung nilai religius. Kemudian
dibawahnya adalah keempat nilai manusiawi dasar. Apabila keempat nilai
manusiawi dasar itu akan diberikan tingkatan dan bobot nilainya layak
dinyatakan berada di bawah nilai ketuhanan. Nilai keadilan sebagai salah satu
nilai manusiawi dasar, dalam hubungannya dengan tingkatan dan bobot nilainya
kiranya harus diletakkan dalam tempat ketiga di bawah nilai kemanusiaan. Namun
sesuai dengan sifat dasar bangsa Indonesia yang sangat menekankan kerukunan,
maka nilai persatuan mempunyai nilai yang lebih tinggi dari kerakyatan, karena
nilai kerakyatan merupakan sarana yang perlu untuk mencapai persatuan.
Telah dijelaskan pula bahwa
Pancasila merupakan dasar filsafat negara Indonesia. Nilai-nilainya telah ada
pada bangsa Indonesia sejak zaman dulu yaitu sejak lahirnya bangsa Indonesia
sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945. Pancasila telah diyakini secara epistemologis
sehingga dijadikan dasar atau pedoman bagi manusia dalam memandang realitas
alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara, tentang makna hidup serta
sebagai dasar dan pedoman bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Filsafat dalam pengertian ini telah menjadi
suatu sistem cita-cita atau keyakinan yang menyangkut praksis, karena dijadikan
landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai
bidang kehidupannya.
Daftar Pustaka
Kaelan. (2013). Negara
Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: PARADIGMA.