Batu Menangis
Bagaikan bulan yang elok, tubuh
laksana pualam, rumput terurai seperti mayang… itulah umpama yang pantas untuk
gadis cantik yang tinggal bersama ibunya yang sederhana di sebuah desa
terpencil itu. Semua orang akan mengakuinya saat memandang gadis itu. Tak
henti-hentinya ia merias dirinya. Cermin di dinding rumahnya tak jemu meski
gadis nan elok itu terus memandanginya. Namun mereka terbius kecantikan itulah
si gadis ini jadi angkuh dan malas. Ia tak sadar bahwa keelokan yang
dikaruniakan Tuhan itu adalah berkah yang harus disyukuri dengan kerendahan
hati.
Ibu gadis ini adalah ibu yang
lembut, baik hati dan bijak. Ia dengan sabar menemani gadis ini. Ia hanya
berharap suatu ketika anak gadisnya menyadari betapa keelokan parasnya tak ada
guna apabila hatinya angkuh. Makin sedih juga sang ibu melihat anaknya yang
cantik itu juga pemalas, dan kemauannya harus selalu dituruti meskipun kadang
tidak masuk akal. Tetapi sang ibu terus berusaha menuruti apa yang dikehendaki
anak gadisnya itu. Di dalam harinya ia berdoa, semoga Tuhan menolong dia
menyadarkan anak gadisnya itu. Ibu itu tak punya daya untuk mengubahnya.
Suatu hari, seperti biasa gadis
itu mengurung dirinya di dalam kamarnya. Ia tak mau matahari merusak kulitnya.
Ia enggan debu-debu mengotori wajahnya. Ia tak suka orang-orang mencuri
kemolekannya.
“Ibu…!”
Gadis itu memanggil ibunya dengan suara keras.
Sang ibu tergopoh menghampiri putrinya.
“Bukankah sudah berulang kali
aku bilang bahwa setiap aku bangun ibu harus sudah menata kamar ini hingga rapi,
menyediakan lulur dan air hangat, dan membuatkan minuman sari buah untukku…?”
katanya keras dan marah.
Ibunya berusaha sabar, “Bukankah
kamu sudah dewasa, anakku. Kau bisa mengerjakan sendiri semua itu.”
“Ibu tahu sendiri, aku sedang
sibuk,” jawab gadis itu.
Sang ibu hanya mengelus dada.
Hatinya gelisah. Kesibukan mempercantik diri, hanya itulah yang selalu
dilakukan putrinya yang pemalas itu.
Suatu hari, sang ibu mencoba
untuk membujuk anaknya agar mulai mengubah tabiat buruknya.
“Ibu sudah tua, dan jika ibu
dipanggil oleh Tuhan maka Ibu tak khawatir lagi engkau bisa mengurusi dirimu
sendiri,” kata ibunya.
“Aku tidak minta kamu jadi
ibuku,” ketus sang gadis.
Ibu sungguh sedih mendengarnya.
“Baiklah, Anakku. Ibu hanya
memohon agar kamu tidak mengurung diri di rumah. Kenalilah lingkunganmu agar
ibu tenang jika suatu saat dipanggil Tuhan,” ujar itu dengan penuh kesabaran.
Hari makin berlalu. Akhirnya
sang gadis mau menuruti kehendak ibunya. Ia tidak keberatan untuk ke mana pun
bersama ibunya. Ke kepta, ke toko, ke rumah kerabat bahkan hingga belanja ke
pasar. Tapi anaknya ini mengajukan syarat bahwa ibunya tak diperbolehkan
mengakui di depan umum bahwa ia ibunya. Sebagai seorang ibu tentulah hatinya
teriris mendengar itu.
“Oh Tuhan, mengapa untuk
mengakui aku ibunya saja dia demikian malu? Mengapa anakku seangkuh itu, ya
Tuhan…”
Orang-orang benar-benar tak
percaya kedua perempuan itu adalah ibu dan anaknya. Penampilan keduanya
alangkah berlawanan. Si putrid begitu mewah, sementara sang ibu teramat
bersahaja. Bahkan sang ibu yang tua dengan pakaian yang kusam itu bagaikan
seorang pembantu saja layaknya. Apalagi sang putri tak pernah mengizinkan
berada di dekatnya. Jika berjalan, sang ibu harus berada di belakangnya.
“Apakah mungkin dia ibunya?”
“Ah mungkin saja bukan?”
“Tapi…”
Orang-orang berbisik-bisik mempergunjingkan hal itu setiap
bebrtemu keduanya.
“Bukan! Dia budakku,” kata gadis
itu.
Alangkah terlukanya sang ibu
mendengar itu. Hatinya menangis dan ia benar-benar tak berdaya menahan sakit
hatinya. Ia berbisik dan memohon kepada Tuhan.
“dengan cara apa Engkau
menghukum anak yang sombong dan berhati busuk seperti ini ya Tuhan? Jika dia
anak kecil, hambamu pasti mampu memahaminya. Tapi ia sudah dewasa dan memiliki
akal. Sungguh hamba tidak bis amengerti,” rintihnya.
Tuhan selalu mendengar jeritan
hati hambanya. Apapun yang dikehendaki Tuhan pastilah suatu kebaikan. Maka
ketika ia menghukum gadis yang sombong itu, maka Tuhan pasti berkehendak baik
untuk umatnya.
Suatu haru gadis itu tiba-tiba
berubah menjadi batu karena hatinya yang congkak dan keras. Gadis itu menyadari
kesalahannya, tapi terlambat karena hukuman telah menimpanya. Ia pun hanya bisa
menangis. Hingga sekarang, batu itu dikenal sebagai “Batu Menangis”.